KE PUNCAK PARA DEWA, MAHAMERU BAGIAN 5


Bang Iduy
Nama aslinya adalah Yudi. Semua orang tahu dia membalik namanya itu dan memiliki wajah yang sangat mirip dengan Piyu Padi. Bang Iduy dari Bekasi.
“Gue nganterin Pak Narko,” katanya menyebut dengan siapa dia berangkat.
@budiomo yang pertama kali berkenalan dengan Bang Iduy. Mereka duduk bersebelahan di bangku kereta, tepat di depan saya. Waktu saya mendengar logat Betawi-nya yang khas Bekasi, dia sedang menceritakan pengalamannya sebanyak tiga kali ke Semeru. Bersama kami ini adalah pendakiannya yang ke-4.
Bang Iduy menjadi begitu dekat dengan rombongan kami setelah banyak mengobrol dengan @budiomo. Dia pandai bercerita, terutama pengalaman-pengalaman sebelumnya ke Semeru yang tidak hanya menyenangkan, tapi juga mengerikan.
Pada sebuah sore di Kali Mati, waktu kami selesai mendirikan tenda dan menikmati kopi, Bang Iduy memulai ceritanya.
“Emang agak susah sih kalau kita milih bermalam di sini,” katanya memulai. Kami berkerumun di bawah sebuah pohon. Tak jauh dari pohon itu ada sebuah batu nisan.
“Waktu itu gua nginepnya di Arcopodo. Lebih deket ke puncak.”
Permasalahannya, panitia memperkirakan bahwa tanah di Arcopodo terlalu sempit. Mereka berpendapat lebih aman bermalam di Kali Mati, dengan asumsi mengambil air bersama-sama, satu rombongan, karena banyak kabar tentang pendaki yang tersesat. Banyak yang tak bisa kembali ke tenda akibat jalan mencari air di Kali Mati tak semudah jalur pendakian yang memiliki banyak petunjuk berupa potongan police line yang terikat di beberapa ranting pohon. Lagipula sumber air di Kali Mati itu bukan hanya milik manusia, tapi juga hewan liar di sekitar hutan. Cukup berbahaya.
“Waktu gua bawa rombongan, pernah juga nginep di Kali Mati,” Bang Iduy melanjutkan.
“Malemnya satu anak kebangun, ngigo, gua suruh aja baca do’a, sampai akhirnya dia tenang.”
Dia diam sebentar, kemudian menyeruput kopinya.
“Gak lama dia kebangun lagi, terus kayak merintih, ‘bang … bang … dingin bang,’ gitu. Ternyata kakinya udah mulai enggak berasa. Gua bakar parafin, gua taro kakinya di atas api, sampe akhirnya kerasa.”
Kami semua serius mendengarkan dan menatap wajahnya yang hampir tertutup topi. Kisah Bang Iduy kemudian berlanjut.
“Nah, pas itu juga, gua denger dari luar tenda. Ada suara yang lama-lama kenceng, rame banget. Gua dengerin itu terus, dan ternyata …. ternyata itu suara derap kaki kuda!”
Tak jauh di hadapan saya waktu itu, terbentang savana, padang rumput luas yang menganga. Menjelang Maghrib langit di Kali Mati sudah menjadi kebiruan gelap. Angin meluncur dari Arcopodo di belakang kami. Kami benar-benar mulai kedinginan.
Padang rumput … saya membayangkan. Pada rumput itu yang dimaksud Bang Iduy … Derap gerombolan kaki kuda!
Saya menyeruput kopi, dan kembali ke tenda dengan bergidik ngeri.


Halaman : 123467891011

Ditulis oleh : M. Irwiyana

Also published on : www.readingbiograph.com
0 Komentar untuk "KE PUNCAK PARA DEWA, MAHAMERU BAGIAN 5"

Back To Top