Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 11

Beberapa hal lagi …
Dari Mahameru, bergulung-gulung

KELAKUAN SI @EGIECHAOS. Tak jauh dari tempat beristirahat di Tumpang, mobil jip membawa kami ke klinik untuk pemeriksaan kesehatan, seperti tekanan darah, tinggi, dan berat badan. Ini proses penting karena menurut beberapa teman yang sudah berkali-kali naik gunung, suhu dingin di sana mudah menyebabkanhypothermia bagi diri kita. Kalau sudah begitu akibatnya bisa gawat. Pembuluh darah bisa pecah dan terjadi sesuatu yang tak pernah diharapkan.
Alih-alih memeriksa kesehatan, ada-ada saja hal konyol yang diperbuat oleh si @egiechaos. Ini sungguh tak terduga, benar-benar di luar akal sehat : D.
Ceritanya, dia ingin sekali shalat di mushalla klinik. Sudah cari-cari sarung, tidak dapat juga. Anak-anak yang lain memilih menunggu giliran untuk bergantian memakai celana panjang. Tapi, tidak dengan dia. Mungkin dia berpandangan sesuatu itu harus lebih cepat lebih baik. Karena itu, pilihannya jatuh pada sarung mukena di mushalla. Dia pakai itu dan shalat tanpa rasa bersalah. Jelas saja itu menjadi bahan tertawaan semua orang. Hampir semuanya terbahak-bahak.
“Islam aliran mana inih? Hahahaha!!!” kata salah seorang peserta sambil memotret dengan ponselnya.
Lima menit kemudian semua orang yang ingin shalat mengikutinya sebagai makmum dengan sarung mukena juga. Mbak-mbak klinik yang ingin shalat? Pasrah sambil geleng-geleng kepala. Asu kabeh orang Jakarta!
TRAGEDI KOLOR. Oke, mukena tadi masih bisa dimaklumi. Waktunya memang sempit sehingga shalat harus didahulukan. Tapi masalah yang satu ini lain lagi urusannya.
Pada saat kami packing untuk kembali ke Ranu Pane, @lutfirivaldi panik.
“Kolor gua mana ya?” tanyanya sambil celingak-celinguk.
Tidak cuma kolor, di hari terakhir kami di Ranu Kumbolo, semua pakaian, jaket, sepatu, atau apapun yang basah dihamparkan untuk dijemur. Lalu, ke mana kolornya si @lutifrivaldi?
Jawabannya ada di si @egiechaos, yang seperti tidak sedang bertanya ketika mengucapkan, “Ini bukan …”
Pluk! Satu buah kolor ia lempar.
Suasana hening sejenak, seperti tak percaya pada apa yang baru dilihat.
Setelahnya, tawa semua anak tak bisa dibendung lagi.
SAYUR LODEH RANU PANE. Begitu memasuki jalan aspal yang terus-menerus menanjak, kami benar-benar menikmati pemandangan yang menakjubkan. Rumah-rumah penduduk—beberapa suku Tengger—bertumbuhan pohon apel di halamannya. Ada lembah hijau yang berkilauan begitu memantulkan cahaya matahari. Kami terombang-ambing di mobil jip, bersorak-sorak norak. Beberapa kali tak lupa kami berhenti untuk berfoto-foto ria, mengamati monyet liar, dan menarik nafas dalam-dalam, kenapa pemandangan ini bisa begitu hebat?
Keramaian rumah penduduk mulai tak terasa begitu kami tiba di Ranu Pane. Di sana cuma ada pondok peristirahatan pendaki, pos penyewaan porter, sebuah mushalla, dan dua penjual makanan. Ada bakso, ada juga rumah makan nasi sayur lodeh. Pertama-tama saya menyerang bakso, dan sangat tertarik dengan sayur lodeh di sana. Nasinya panas, berkuah, ditimpa telur dadar, dan punya sambel yang membuat telinga serasa meledak. Pada saat itu juga kami semua bersepakat, ini adalah makanan yang serius kelezatannya. Makanan favorit.

Santap bakso di Ranu Pane

Lodeh pun tandas tak berbekas …
RICKY.
Datang sendirian dari Indramayu, Ricky adalah pendaki yang polos. Dia menumpang hidup di tenda panitia selama pendakian. Harapannya tentu tak terkabul. Bukannya dimanja panitia, dia malah jadi asisten dadakan, bahkan tak henti-hentinya di-bully.
Kami bertemu Ricky di pos kedua dalam perjalanan ke Ranu Kumbolo. Dia sendirian, menawarkan cokelat Cha-Cha kepada kami yang ternyata itu salah besar. Cokelat itu tandas tanpa pernah kembali lagi ke tangannya.
Pada saat akhir acara, di Tumpang, dia bilang,
“Bang, tukeran barang dong, Bang.”
“Buat apaan?” beberapa kami bertanya.
“Buat kenang-kenangan, Bang. Biar enggak lupa.” Dia menunjukkan seluruh barangnya, “Nih, Bang, pilih aja.”
Dan seketika itu juga kami tahu dia meminta barang yang lebih bagus dari @lutifrivaldi, @bangian, dan @budiomo. Bisa banget …
Ricky yang membuat saya dan @budiomo penasaran dengan novel 5 CM ketika kami jalan-jalan mengitari kota Malang.
“Mantep, Bang, sedih ceritanya.”
Pada saat itu saya dan @budiomo memutuskan untuk membeli novel tersebut di Gramedia kota Malang.
Ricky berjanji, ketika turun dari kereta di stasiun Indramayu, dia akan datang ke Jakarta. Sayangnya hampir semua dari kami mengatakan, “Jangaaaaan!!!”

Ricky and His Adventures
BODOH ITU SEDERHANA. Ketika dipilih menjadi komandan upacara Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011 dan saya berteriak, “Kepadaaa!!! Sangkaka Merah Putih! Hormaaaaaaaat, GRAKKK!!!

Sejak kapan SANGSAKA jadi SANGKAKA???
BAKAL KEMBALI LAGI?
Saya duduk di sebelah @yahyahasyim dalam perjalanan kereta ke Jakarta.
“Berenang di Ranu Kumbolo, Bang?”
“Berenang, kenapa emang?”
“Pasti nanti balik lagi ke Semeru.”
-RANDOM NOTES-

Berenang-renang di Ranu Kumbolo

(Kiri-Kanan). @egiechaos, saya, @budiomo, @lutfirivaldi, Mas Arfan, Mas Arif, @bangian, Mbak Dewi, dan bule-bule dari Ukraina

“Gue tau aplikasinya biar kita bisa dapet sinyal di gunung,” ujar @bangian.

DI RANU PANE. Mengheningkan cipta … dimulai ….

Mogok? Bukan, cuma mau foto-foto

Berjalan seorang pria muda, @lutfirivaldi

MAS ARIF. Ambil air di Kali Mati

SANTAI DI STASIUN. Sadar foto, si @budiomo

“Kolor saya hilang, pemirsa,” kata @lutfirivaldi. “It’s magic!”

Di gunung kita bersatu, mimpimu mimpiku. Menurut @egiechaos, “begitu juga kolormu, ya, kolorku juga …”

Suasana sepi di Kali Mati

Jalur terjal berpasir

FOREVER. I’ll follow the sun.

Band of Brothers
-TAMAT-

Halaman : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

Ditulis oleh : M. Irwiyana

Also published on : www.readingbiograph.com
0 Komentar untuk "Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 11"

Back To Top