Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 10

KALI MATI, MENJELANG TENGAH MALAM. Setiap orang ingin sekali tidur, dan memang sudah seharusnya, tapi hal itu semakin jauh dari harapan. Tahu-tahu kami semua diradang rasa cemas yang tidak biasa. Menantikan waktu menuju puncak Semeru.
@fajar_sukma menyalakan parafin, kemudian memasak indomie. Karena tindakannya itu, kami semua beranjak dari posisi tidur, ikut menantikan masakan matang.
“Kalian pada enggak tidur?” tanya Mas Arfan dari dalam kamar tenda.
@fajar_sukma mengaduk-aduk panci berisi indomie, kemudian menjawab, “Laper Mas, makan dulu.”
Tak lama setelah makan bersama dalam satu piring secara bergantian, kami menggelapkan tenda. Kali ini harus bisa tidur, kata saya dalam hati. @bangian sudah diam, menutup seluruh badannya kecuali wajah. Sepuluh menit kemudian, saya mengambil handphone dan mengetik dengan cepat. Saya cemas … cemas … dan menggigil.
Tulisan itu terus berlangsung sampai kira-kira dua puluh menit setelahnya saya mulai mengantuk. Handphone itu saya simpan di dalam plastik, memastikannya aman, kemudian berharap untuk terlelap.
Entah untuk beberapa saat setelahnya, seseorang menghampiri tenda.
“Mas, Mas, summit enggak?”
Suara itu diam kembali, ketika saya setengah sadar dari tidur, kemudian berkata lagi,
Summit Mas, semua udah ngumpul—“
“Oh iya!” jawab suara yang lain, ternyata Mas Arfan. “Iya, iya, Mas!”
Dengan terburu-buru dia menyalakan lampu, membangunkan sebanyak mungkin orang di tenda, terutama Mas Arif yang tidur di sebelahnya.
Summit Mas Arif,” ia membangunkan. “Bay, Feb … Jar, Conk, .. Gie, Bud …” dan suara-suara berdeham parau mulai terdengar.
“Yuk, summit yuk,” suara @lutifrivaldi.
Mas Arfan menambahkan, “Ayo, pada siap-siap.”
Tak sampai 15 menit saya sudah berada di luar tenda, mengenakan dua lapis baju, jaket, kupluk, sarung tangan, dan senter. Saya juga memakai kaus kaki sebanyak dua buah. Dalam keadaan gelap gulita, seluruh badan terasa pegal-pegal bukan main, seperti rontok.
Titik-titik cahaya senter dari kejauhan lambat laun berkumpul menjadi satu. Mereka melingkar, mengucap do’a sebagai awal dari perjalanan.
“Jangan dipaksakan, perhatikan teman-temannya, terutama diri sendiri. Kalau tidak kuat, panitia pasti ada di belakang,” kata si pemimpin do’a. Dia berbicara singkat sedikit lagi, kemudian melepas kami untuk mulai berjalan.
Pada awalnya saya merasa tenang ketika setiap orang masih berdekatan dalam satu rombongan. Namun, tak lama setelah memasuki hutan yang gelap dan menanjak, kami mulai terpecah tanpa perintah.
“Duluan, duluan,” begitu biasanya seorang pendaki berkata.
Mereka ada yang memilih duduk sejenak, atau bersandar pada pohon sambil mengatur nafas, meneguk air. Nafas kami yang terengah-engah saling terdengar satu sama lain. Jalanan mulai banyak dihalangi tidak hanya akar-akar besar, tapi juga batu dan kerikil.
Sementara saya berjalan dengan telinga yang semakin sakit. Angin besar yang menerpa membuatnya berdengung-dengung. Setiap kali saya berusaha menarik sebanyak mungkin udara, hasilnya hampir nihil. Oksigen menipis, cuma angin yang masuk, dan itu tak bisa mengisi paru-paru.
Kami berhenti sejenak di Arcopodo, melepas lelah, dan meneruskan perjalanan lagi. Ketika jalan sudah mulai bebatuan, ada sebuah tali terulur. Tali itu melambai-lambai dari balik dinding batu. Setiap orang terheran-heran, namun tetap meraihnya untuk berjalan. Kami belum sadar kalau sedang berada di tepi jurang.
Jurang itu seperti membatasi antara area bertumbuhannya vegetasi dengan jalur pasir yang menjulang sampai ujungnya tak terlihat. Begitu menjejakkan kaki di atas pasir, saya agak terkejut. Rupanya puluhan pendaki sedang duduk menghadap saya, saling berhimpitan, menunduk. Mereka sengaja menunggu pendaki-pendaki di belakang.
Tak tahu siapa yang memberikan aba-aba, puluhan pendaki yang duduk itu kemudian berdiri dan mulai berjalan.
Jurang-jurang yang gelap dan menganga berada di sisi kami. Kalau saya menoleh kepadanya, berkesan ada panggilan. Suaranya seperti orang meminta tolong, tolong … tolooong …
“Mas, jalan terus, jangan tidur!”
Saya terkesiap. Rupanya saya telah ketiduran di sandaran batu selama beberapa menit.
“Jangan tidur, bahaya. Ayo, pelan-pelan,” ajak suara yang membangunkan saya tadi, kemudian dia berjalan kembali.
Angin bertambah kencang. Jalur pasir ini benar-benar membuat saya pasrah. Dada saya sesak dan rasanya ingin melepaskan jaket supaya lebih ringan. Tapi tentunya hal itu tak mungkin. Tiga langkah menanjak, saya selalu terperosot kembali, mungkin lebih dari lima langkah. Ini benar-benar berat, batin saya. Saya melihat jalan ke bawah, curam, gelap, lampu-lampu perkotaan berkedip-kedip dari jauh. Ya ampun, ini udah tinggi banget! Saya langsung menguasai tubuh yang mulai oleng.


Sementara saya terus berjalan, tepatnya merangkak, pasir-pasir memenuhi sepatu, menggesek-gesek tajam. Enggak … gua enggak kuat lagi … saya pun ke tepi, duduk meringkuk di balik batu.
Saya minum dan memerhatikan isi botolnya.
Air terakhir…kata saya kemudian, dan meletakkan botol air minum itu di atas batu.
Waktu itu wajah ibu saya mulai muncul. Apa yang terjadi setelahnya adalah beliau mengatakan sesuatu yang kedengarannya sangat nyata.
Ngapain kamu di situ malem-malem!?? Bukannya tidur!”
Dan saya yakin waktu itu sedang diperlihatkan tentang segala kesombongan diri saya selama ini. Mereka muncul seperti siaran radio rusak, berganti-ganti, dan begitu saya membuka masker yang menutupi hampir setengah wajah, tarikan nafas menyeramkan terdengar.
Kemungkinan besar gue bakalan mati … itu yang saya pikirkan, tidak lain. Dan, sebisa mungkin pasrah ketika mendengar ucapan,
Cuma gunung tidak bergerak. Kenapa kau tak mampu melawan-Ku?
Tuhan menantang, dan saya terang-terangan menyatakan untuk undur diri dan mulai menangis.
Ampun …

“Ambil talinya!” sebuah suara mengagetkan saya.
Beberapa menit kemudian saya menyaksikan seorang pendaki naik dari jurang yang gelap dengan menarik tali itu. Beberapa orang menariknya, dan dia menangis.
“Makasih Bang, makasih, huhuhu …” teriaknya sesengukan. Dia mencium tangan orang yang membantunya naik sambil tak mampu berdiri. Gawat sekali, ternyata dia salah ambil jalan ke jalur lahar. Tiba-tiba jantung saya berdegup kencang sekali, mengalirkan darah baru yang hangat. Gua mesti jalan lagi!
Tepat ketika matahari terbit, Mahameru berdiri kokoh di hadapan saya.
“Puncak, puncak!” @fajar_sukma berteriak. “Ayo, Bay, dikit lagi!”
“Iya!”
Lutut saya sudah lemas, gemetaran, tapi langit Mahameru yang biru dengan siluet indah terus berpendar menakjubkan, seperti bekerja sama mendorong untuk terus melangkah.
Satu langkah lagi … tidak, dua langkah … empat … sepuluh deh!
Ada hamparan datar … penuh bebatuan …
Mata saya langsung berhadapan dengan matahari yang mengucapkan,
SELAMAT DATANG DI MAHAMERU

@egichaos memeluk saya. “Hebat lu, Guy!”
Angin bertiup kencang, saya terus berjalan, berputar, ke sana kemari, mencari-cari, “Hei, aku di sini!” panggil sebuah suara.
SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS
“Yang mencintai udara jernih … yang mecintai terbang burung-burung … Mereka tengadah dan berkata, ke sanalah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi … “

Halaman : 12345678911

Ditulis oleh : M. Irwiyana

Also published on : www.readingbiograph.com
0 Komentar untuk "Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 10"

Back To Top