Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 2

@egiechaos di Oro-Oro Ombo. Sepintas kelihatan macho sekali.

Hiking Advisor
@egiechaos adalah seorang teman yang saya pikir paling berpengalaman mengikuti kegiatan naik gunung di antara kami semua waktu itu. Paling tidak, dia sudah mencicipi Gede-Pangrango, Papandayan, Rinjani, dan setiap tahun tampaknya punyaplanning untuk mencoba gunung-gunung baru. Perangainya dari sejak SMA menurut saya mendukung hobinya itu. Dia punya rasa kesetiakawanan yang besar, meskipun bukan berarti teman-teman yang lainnya tidak memiliki hal itu. @egiechaos ini lebih dari kami semua, dengan berkali-kali memastikan kesiapan tim kami di luar kesiapan dirinya sendiri. Dia pernah berbicara kepada saya, “Udah izin Bokap-Nyokap?” atau, “Perlengkapan gimana Bay?” dan seterusnya. Pada saat kami akhirnya berkumpul di stasiun Senen, dia agak marah, karena saya kurang menghiraukan pembahasan di rangkaian pesan Facebook. Saya terkesan main-main, menganggap enteng, dan pada kemudian hari saya menganggap semua tudingannya itu benar.

Saya tidak tahu-menahu apa itu gunung dan bagaimana cara mendakinya—dalam artian luas.
Pada saat bermalam di Ranu Pane, menjelang pendakian hari pertama keesokan paginya, saya ketahuan tidak membawa matras untuk tidur. Di sana mungkin masih aman, karena kami tidur saling berhimpitan dalam sebuah kamar sempit berlapis kayu di pondok peristirahatan pendaki. Tapi, begitu membuka tenda di Ranu Kumbolo, saya benar-benar tak bisa membayangkan harus bagaimana mengatasi udara dingin di ketinggian 2400 mdpl (meter di atas permukaan laut) itu.
Kami memasak dengan parafin yang menyala-nyala, dengan api menjilat panci, di dalam tenda doom yang memiliki tiga kamar. Pada saat keheningan malam hanya diterangi lampu redup itu, @egiechaos memperingati saya lagi. Tapi kemudian semuanya menyarankan agar saya memakai jas hujan dan sajadah sebagai alas tidur. Saya tidur bersama @bangian di kamar yang sama, dan begitu kedinginan menyadari rumput basah di tanah Ranu Kumbolo ternyata menembus bawah tenda, jas hujan, dan sajadah yang saya gunakan sebagai alas tidur itu. Membekukan sekali.
@egiechaos sedang berkata,
“Saat orang-orang pada tidur, kita lagi sibuk menggapai tujuan kita,” ketika kami baru saja turun dari puncak Semeru (Mahameru).
Waktu itu kami sedang duduk-duduk di jalur pendakian puncak yang berpasir dan terjal, memandangi gunung Bromo di antara kabut pagi. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana mungkin kita sedang berada di atas kabut? Seperti awan kintoun milik Songoku, kabut yang bergumpal itu jalan beriringan mengelilingi gunung Bromo. Dari belakang, matahari menghangatkan punggung kami, dan tak ada satu pun orang yang tak menikmati suasana itu.
“Mantep ya, kita di atap Pulau Jawa,” ujar @lutfirivaldi yang sedang menikmati nata de coco.
Saya bertanya agak bodoh kepadanya, “Atap Jawa?”
“Iya, Semeru kan gunung tertinggi di Jawa.”
Pada saat mulut saya membulat, dia menyadari kalau saya aneh, tak tahu seberapa tingginya gunung Semeru itu. Dan lagi, entah bagaimana saya kembali menyesal karena tak begitu menghargai betapa persiapan mendaki Semeru yang diperingatkan oleh @egiechaos sebelumnya benar-benar berarti. Pantas saja dia begitu khawatir, dan saya begitu bodoh karena baru menyadari tantangan yang sesungguhnya ketika sudah menuruni puncak Semeru. Gila, batin saya, Ini atap Jawa?

Halaman : 134567891011

Ditulis oleh : M. Irwiyana

Also published on : www.readingbiograph.com
0 Komentar untuk "Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 2"

Back To Top