Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 8

Iron Lady
Satu lagi nama Egie di sekelompok pendaki waktu itu selain @egiechaos, namanya Egie Tomboy, satu-satunya panitia perempuan yang telah mengenal gunung lebih dari apa pun. Di balik tubuh kurusnya yang legam, Mbak Egie—begitu peserta sering memanggil—tak ubahnya seperti penasehat spiritual kami selama pendakian.
Pada saat siang hari di tenda Kali Mati, menjelang pendakian summit.
Mbak Egie sedang berkunjung ke tenda doom kami, menikmati kopi bersama, berbincang, dan tak henti-hentinya menghisap rokok.
“Bro,” katanya. “Jangan takut fisik lo kenapa-kenapa.”
Mbak Egie duduk di kursi lipat milik @fajar_sukma, menghadap kepada kami yang meringkuk di dalam kamar tenda. Sementara parafin terus menyulut api, memanaskan seluruh permukaan panci.
“Gue pernah bawa pendaki sebelumnya, laki-laki, badannya sehat-sehat, bagus semua,” katanya lagi seraya menghembuskan asap rokok.  “Baru di jalur pasir dia langsung ambruk, ditarik langsung sama laki gue ke bawah.”
Dia diam sejenak, dan tak ada dari kami yang ingin memulai berbicara.
“Naik Semeru itu yang penting di sininya.”
Mbak Egie menunjuk dadanya, seperti yang pernah juga Bang Iduy beritahukan kepada kami sebelumnya. Bang Iduy pernah mengatakan kepada kami,
“Kalau hati sumpek terus, puncak semudah apa pun kita enggak bakalan sampe.”
Sekali itu juga Mbak Egie menegaskan kepada kami bahwa pergelangan kakinya pernah patah sampai hampir berputar ke belakang. Waktu mendengar ceritanya itu, saya jelas merasakan ngilu yang sangat. Apalagi, menurutnya, sejak itu dia merasa tak mungkin untuk terus naik gunung, berjalan-jalan berat dan jauh. Tapi kemudian yang dikatakan Mbak Egie sambil mengangkat bahunya adalah,
“Sekarang gue sampe Kali Mati, kan?”
Mbak Egie bersama suami tercinta, Aditya Nugroho. Pokoknya yang lain ngontrak!

Halaman : 123456791011

Ditulis oleh : M. Irwiyana

Also published on : www.readingbiograph.com

0 Komentar untuk "Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 8"

Back To Top