Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 7

Nowhere Boy
Ini bukan tentang John Lennon yang punya masa kecil kelam, ditinggal Ayahnya sejak lahir, dan tak lama kemudian Ibunya meninggal tanpa pernah sekalipun melihat anaknya menjadi musisi hebat dunia. Ini tentang Bang Jon, ketua panitia Pendakian Persahabatan Frangia & Khyber Pass.
Bang Jon adalah sosok pria pertengahan 30 tahun dengan tubuh besar dan janggut yang menyambung ke kumisnya. Dia memiliki rambut gondrong yang bergelombang, terurai, dan selalu tampak ramah. Semua orang rasanya berpendapat sama, ada Bang Jon menjadi alasan mengapa kegiatan pendakian ini bisa ramai diikuti banyak peserta.
“Kalo Bang Jon yang udah bikin acara, gua udah percaya deh. Pasti seru!” ujar Bang Iduy selagi di kereta.
Ketika pengumuman Pendakian Persahabatan Frangia & Khyber Pass keluar, Bang Iduy serta merta memasang poster pengumuman itu di rumahnya di Bekasi, yang juga sekaligus toko alat-alat olah raga outdoor.
“Langsung gua taro paling atas.”
Saya dan @budiomo pertama kali membuka perbincangan dengan Bang Jon di sebuah malam di Ranu Pane. Waktu itu kami sedang bertanya tentang agenda pendakian ke Rinjani yang bakal dilaksanakan pada 5-14 Juli 2012 mendatang.
“Kalo gue sih naik gunung yang penting asiknya aja,” kata Bang Jon, suaranya kedengaran keras. “Orang-orang banyak mikir naik gunung itu berat, apa gimana-gimana, gitu kan. Padahal enggak, naik gunung itu wisata, nikmatin alam, buka pandangan.”
“Pokoknya gue gak ngambil keuntungan dari acara-acara macem gini. Gue jualan alat-alat. Kalo acara kayak gini uangnya bener-bener kita pentingin buat peserta. Biasanya kita janji kalo peserta dapet makan dua kali, eh, tahu-tahunya karena uangnya masih ada, ya, kita jadiin empat kali. Wah … kan pada seneng tuh, seru.”
Kalau tidak tersenyum, kebiasaan Bang Jon kepada kita adalah memberikan semangat. Tak pernah dia berkomentar tanggung jawab dirinya sangat berat.
Di pos pertama, begitu memulai pendakian dari Ranu Pane, kami sampai dengan sangat kelelahan. Saya sendiri merasakan ulu hati yang panas, ingin sekali rasanya muntah, dan mulai tak percaya bahwa saya cocok untuk naik gunung. Kata @egiechaos, “Biasalah buat start, makanan sarapan belom turun, otot baru bergerak.”
Kami beristirahat di pos pertama itu, bersama Bang Jon dan peserta lain. Bang Jon bercerita terus terang dirinya tak sekuat zaman muda dulu. Dia kini berjalan pelan-pelan, yang penting sampai. Begitu ada rombongan peserta melewati pos pertama dengan terengah-engah, Bang Jon berkata,
“Sini, istirahat dulu, buru-buru mau ke mana … enggak akan lari gunung dikejar.” Dia tertawa.
Menjelang pos kedua, kami berpapasan dengannya. “Nih, permen-permen, biar lupa capeknya.”
Anehnya, ketika kami berjalan kembali mendahului Bang Jon, kami kaget mengetahui dia sudah sampai duluan di Ranu Kumbolo.
“Bang Jon harusnya di belakang kita bukannya??” tanya @fajar_sukma kebingungan. “Kok bisa?”
Belakangan, kami tahu Bang Jon melewati jalan tembus yang menanjak hampir 90 derajat. Kami terperangah. Masalahnya, tas carrier yang ia bawa tingginya sampai melewati kepala. Pasti bukan main beratnya.
“Ini ibu-ibu pada nitip panci, logistik, segala macem lah,” ujar Bang Jon tersenyum begitu mengakui kenapa tasnya begitu menjulang tinggi.
Memikul berat tanggung jawab dan alat-alat sambil selalu tersenyum, kata-kata yang diucapkan Bang Jon ketika berpisah di stasiun senen adalah, “Maafin ya kalo gue suka marah-marah.”
Semua orang berebut menyalaminya dari jendela kereta pada waktu itu.
Demi menemukan cintanya, selain tasnya yang berat, di “Tanjakan Cinta” ini Bang Jon juga harus berusaha keras agar tidak menoleh ke belakang


Halaman : 123456891011


Ditulis oleh : M. Irwiyana


Also published on : www.readingbiograph.com

0 Komentar untuk "Ke Puncak Para Dewa, Mahameru Bagian 7"

Back To Top